MUHAMMAD Quraish Shihab lahir pada 16 Februari 1964 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia putra dari Abdurrahman Shihab—seorang guru besar dalam bidang tafsir yang pernah menjadi Rektor IAIN Alauddin serta tercatat sebagai salah satu pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujungpandang. Selain mengenyam pendidikan dasar di Ujungpandang, ia digembleng ayahnya untuk mempelajari Al-Qur’an.
Pada tahun 1958, Quraish berangkat ke Kairo, Mesir, atas bantuan beasiswa dari Pemerintah Sulawesi Selatan. Ia diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Sembilan tahun kemudian, tahun 1967, pendidikan strata satu diselesaikan di Universitas al-Azhar Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir-Hadis. Pada tahun 1969 gelar M.A diraihnya di universitas yang sama.
Quraish sempat kembali ke Indonesia, namun tak lama sebab pada tahun 1980 ia kembali lagi ke Universitas al-Azhar untuk menempuh program doktoral. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun, 1982, untuk menyelesaikan jenjang pendidikan strata tiga itu. Bahkan yudisiumnya mendapat predikat summa cum laude dengan penghargaan tingkat I. Ia pun tercatat sebagai orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas al-Azhar.
Pada tahun 1984, Quraish kembali ke Indonesia dan mengajarkan ilmunya di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah. Di luar kampus, ia dipercaya menduduki beberapa jabatan penting, antara lain, Ketua MUI pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), Menteri Agama Kabinet Pembangunan VIII (1998).
Meski disibukkan dengan pelbagai aktivitas akademik dan nonakademik, Quraish masih sempat menulis. Bahkan ia termasuk penulis yang produktif, baik menulis di media massa maupun menulis buku. Di harian Pelita, ia mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah”. Ia juga menjadi anggota dewan redaksi majalah Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama.
Beberapa buku Quraish telah beredar luas. Misalnya, Tafsir al-Manâr: Keistimewaan dan Kelemahannya (1984), Filsafat Hukum Islam (1987), Mahkota Tuntutan Ilahi: Tafsir Surah al-Baqarah (1988), Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994)—keduanya berasal dari kumpulan makalah dan ceramah, Studi Kritis Tafsir al-Manâr (1994), Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (1995), Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (1997), Tafsir Al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997), Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (1997), Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah dan Mu’amalah (1999), Tafsir al-Misbah: Kesan, Pesan, dan Keserasian Al-Qur’an (2000), dan lain sebagainya.
Tafsir Terbesar
Dari sekian banyak karya Quraish, Tafsir al-Misbah merupakan mahakaryanya. Tafsir ini telah menempatkannya sebagai mufasir Indonesia nomor wahid yang mampu menulis tafsir Al-Qur’an 30 juz dengan sangat mendetail hingga 15 jilid/volume. Ia menafsirkan Al-Qur’an secara runtut sesuai dengan tertib susunan ayat dan surah.
Sebelum mulai menafsirkan surah, Quraish terlebih dahulu memberi pengantar. Isinya antara lain, nama surah dan nama lain surah tersebut, jumlah ayat (terkadang disertai penjelasan tentang perbedaan penghitungan), tempat turun surah (makkiyyah dan madaniyyah) disertai pengecualian ayat-ayat yang tidak termasuk kategori, nomor surah berdasarkan urutan mushaf dan urutan turun, tema pokok, keterkaitan (munâsabah) antara surah sebelum dan sesudahnya, dan sebab turun ayat (asbâbun nuzûl).
Setelah memberi pengantar, Quraish mulai menafsirkan dengan menganalisis secara kronologis dan memaparkan berbagai aspek yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan urutan bacaan mushaf. Hal ini dilakukannya untuk membuktikan bahwa ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an mempunyai keserasian yang sempurna dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. []
Sumber: Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Insan Madani, 2007)